Beata Sandra Sabattini

     

    Alessandra Sabattini, yang sering dipanggil Sandra, lahir di Riccione, Italia, pada 19 Agustus 1961. Ia dibaptis ketika baru berusia satu hari. Keluarganya adalah keluarga Katolik yang saleh dan tiggal di Misano Adriatico. Saat berusia 4 tahun, Sandra dan keluarganya pindah ke Rimini dan tinggal di pastoran paroki San Girolamo, di mana pamannya adalah pastor paroki di sana. 

    Sandra kecil senang membawa rosario dan mahkota di tangannya. Ia hampir tak pernah terlihat tanpa kedua benda itu. Bahkan, ia sering terlihat tetap menggenggam keduanya ketika tidur sekalipun. Meski masih kecil, Sandra sering bangun pada pukul 1 atau 2 pagi. Dengan boneka kesayangannya di tangan, ia pergi melangkah ke kapel, berdiam diri dalam doa, kesunyian, dan kegelapan di hadapan Sakramen Mahakudus. Sandra selalu berdoa dengan berlutut atau duduk di lantai sebagai tanda kerendahan hati dan kemiskinan. 

    Seperti anak-anak pada umumnya, Sandra memiliki minat yang luas. Ia suka melukis, belajar bermain piano, dan berlari atletik. Ia juga menulis buku harian yang pada hari ini menjadi warisan berharga bagi orang muda. Sebuah buku harian yang dituliskan dari hati orang muda yang terbakar dengan cinta yang membara kepada Allah. Di salah satu tulisannya, ia mengatakan, "Kehidupan yang tanpa Tuhan hanyalah cara untuk menyia-nyiakan waktu." 

    Ketika berusia 12 tahun, Sandra bertemu Romo Oreste Benzi yang dinyatakan sebagai 'Hamba Allah' tahun 2014 yang lalu. Romo Benzi menjadi pembimbing rohaninya dan membantunya untuk bergabung dalam komunitas anak muda Paus Yohanes XXIII yang menjalankan misi pelayanan untuk membantu mereka yang berkebutuhan khusus. Pada satu kesempatan, ia bercerita pada ibunya, "Kami bekerja melayani mereka sampai jatuh. Tetapi orang-orang inilah yang tidak akan pernah aku tinggalkan." Tak lupa, Sandra juga menyisihkan uang jajannya untuk membantu mereka yang membutuhkan.

    Pengalaman melayani itu membekas dalam hati Sandra. Sejak saat itu, hati dan pikirannya terarah pada Yesus yang tersamar di antara orang miskin dan menderita. Ia bahkan menjadi relawan di pusat rehabilitasi untuk pecandu narkoba yang pada saat itu menjadi masalah sosial yang marak terjadi.  

    Pengalaman-pengalamannya sebagai relawan mendorong Sandra untuk menjadi misionaris medis di Afrika. Setelah lulus dari sekolah menengah, serta atas bimbingan dan saran dua Bapa rohaninya, Romo Nevio Faitanini dan Romo Benzi, Sandra mendaftar di Fakultas Kedokteran di Universitas Bologna. 

    Meski sibuk dalam perkuliahan, ia selalu menyempatkan waktu di pagi maupun malam untuk menyapa Yesus dalam Sakramen Mahakudus seperti di masa kecilnya. Ia juga tetap aktif dalam kegiatan Komunitas Paus Yohanes XXIII. Bukan hanya itu, ia bahkan menemukan kekasih hatinya di komunitas itu. 

    Di Komunitas Paus Yohanes XXIII, Sandra yang masih berusia 18 tahun bertemu dengan Guido Rossi pada Februari 1978. Kelembutan hati, serta dedikasi Sandra pada Allah dan sesama menarik hati Guido. Semangat mereka yang sama untuk melayani sesama membuat mereka saling jatuh hati. Tidak memerlukan waktu lama bagi mereka untuk membuat komitmen untuk berbagi kasih dan cita demi kemuliaan Allah melalui pelayanan kepada orang-orang miskin. 

    Sayangnya, mimpi Sandra untuk menjadi misionaris medis di Afrika tak dapat terwujud. Pada 2 Mei 1984, Sandra mengalami kecelakaan mobil yang merenggut nyawanya.

    Meski wafat di usia muda, teladan Sandra dalam kekudusan terus hidup dan menjadi inspirasi bagi banyak orang muda. Sandra pernah mengatakan bahwa panggilan kita di zaman ini sesungguhnya adalah menjadi orang kudus. 

"Saat ini ada terlalu banyak orang Kristen yang baik, sementara dunia membutuhkan orang-orang kudus."

Doa kepada Beata Sandra Sabattini

Untuk infografis orang kudus lainnya yang menarik dapat melihat di instagram @saintpedia

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“disarikan dan diterjemahkan oleh saintpedia: https://saintpediastory.blogspot.com/


Komentar

Postingan Populer